Oleh : Dian Luthfiyati
Abstrak: Akhir-akhir ini terjadi pernikahan dini pada kalangan remaja. Pernikahan dini diartikan merupakan instituisi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Ada beberapa faktor penyebab pernikahan dini, yaitu faktor pribadi dan faktor keluarga. Dari faktor pribadi remaja adalah karena ingin menghindari dosa (seks bebas), dan ada juga yang karena "kecelakaan". Sedangkan dari faktor keluarga adalah karena paksaan orang tua. Dalam pernikahan dini, ada beberapa dampak yaitu kanker leher rahim, neoritis depresi, dan konflik yang berujung perceraian. Pernikahan dini dalam perspektif psikologi adalah tidak menghambat pendidikan. Bahkan bisa menambah motivasi. Yang dikhawatirkan adalah emosi mereka yang masih labil. Namun, jika sang remaja mampu mengendalikan diri, dan bersikap dewasa maka permasalahan tersebut akan terhindar. Sedangkan perspektif agama, pernikahan dini boleh saja. Apalagi jika untuk mencegah perbuatan dosa (seks bebas).
Kata Kunci: Pernikahan dini pada kalangan remaja, pengertian pernikahan dini, hukum menikah, faktor penyebab, dampak pernikahan dini, dan macam-macam perspektif pernikahan dini.
Akhir-akhir ini marak terjadi pernikahan dini pada kalangan remaja. Hal itu terjadi pada umur kira-kira 15-19 tahun, yaitu pada saat SMP maupun SMA. Itulah sepenggal realitas sosial yang dihadapi masyarakat saat ini. Dorongan seksual remaja yang tinggi karena didorong oleh lingkungan yang mulai permisif dan nyaris tanpa batas. Pada akhirnya, secara fisik anak bisa lebih cepat matang dan dewasa, namun psikis, ekonomi, agama, sosial, maupun bentuk kemandirian lainnya belum tentu mampu membangun komunitas baru bernama keluarga.1
Bila dikaji lebih dalam lagi, fenomena ini akan beruntut pada masalah sosial lainnya. Sebut saja kehamilan yang tidak diinginkan/ ketidaksiapan pasutri untuk membentuk keluarga baru yang ujungnya berakhir dengan perceraian, tindak kriminal aborsi, risiko PMS (penyakit menular seks), serta perilaku a-sosial lainnya. Tidak menutup kemungkinan pekerja seksual juga muncul dari ”budaya kebablasan” ini.
Sederet pertanyaan dan kekhawatiran pun muncul dari realitas sosial tersebut. Nikah di usia remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya.
Pada kalangan remaja pernikahan dini dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari dosa, yaitu seks bebas. Ada juga yang melakukannya karena terpaksa, dan karena hamil di luar nikah. Fenomena tersebut cukup sering kita dengar.
Pendapat tersebut mungkin ada benarnya. Namun bukankah pernikahan itu tidak hanya sekadar ijab qabul, dan menghalalkan yang haram. Melainkan kesiapan moril dan materil untuk mengarungi dan berbagi apapun kepada pasangan tercinta. Jadi bagaimana akan menikah di usia muda bila bekal (moril maupun materil) belum cukup?
Dari latar belakang tersebutlah, penulis membuat artikel yang berjudul "Pernikahan Dini Pada Kalangan Remaja (15-19 tahun)". Pada artikel ini, penulis akan menjabarkan tentang apa itu pernikahan dini, penyebabnya, dampak, dan perspektif psikologi dan agama terhadap pernikahan dini. Penulis juga akan memberi pandangan terhadap pernikahan dini.
PEMBAHASAN
PERNIKAHAN DINI
Pengertian Pernikahan Dini
Ada banyak pengertian pernikahan dini. Disini penulis akan menyebutkan tiga diantaranya. Yang pertama yaitu pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu: merupakan instituisi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Yang kedua yaitu menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono. Beliau mengartikan pernikahan dini adalah sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternatif. Sedangkan Al-Qur'an mengistilahkan ikatan pernikahan dengan "mistaqan ghalizhan", artinya perjanjian kokoh atau agung yang diikat dengan sumpah.
Al Qur'an menggunakan istilah mitsaqan ghalizhan minimal dalam tiga konteks. Pertama, konteks ikatan pernikahan seperti disebutkan dalam Q.S. An-Nisa 4:21. Kedua, konteks perjanjian Allah SWT. dengan Bani Israil (Q.S. An-Nisa 4:154). Ketiga, konteks perjanjian Allah SWT. dengan para Nabi-Nya bahwa mereka akan menyampaikan ajaran agama kepada umatnya masing-masing (Q.S. Al Ahzab 33:7).
Menganalisia konteks mistaqan ghalizhan yang digunakan Al Qur'an, bisa ditarik benang merah bahwa ikatan pernikahan itu nilai keagungannya setara perjanjian antara Allah SWT dengan Bani Israil dan selevel dengan perjanjian antara Allah SWT dengan para Nabi-Nya.
Jadi, cukup logis kalau pernikahan itu dinilai bukan sekedar tali pengikat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (tiket hubungan seksual yang sah), tetapi juga harus menjadi media aktualisasi ketaqwaan. Karena itu, untuk memasuki jenjang pernikahan dibutuhkan persiapan-persiapan yang matang; kematangan fisik, psikis, maupun spritual.
Hukum Menikah Dini
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub). Perintah untuk menikah merupakan tuntutan untuk melakukan nikah. Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti atau keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib.
Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah.
Rasulullah SAW menyarankan kepada orang yang sudah mampu agar segera menikah, sementara kepada yang belum mampu Rasul memberi jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan melaksanakan Shaum, karena shaum merupakan benteng. Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa kita diperbolehkan menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan persiapan.
Oleh karena itu, para ahli fiqih mendudukkan hukum pernikahan pada empat hukum:
1. Wajib menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan mampu secara fisik, psikis, dan material, serta memiliki dorongan seksual yang tinggi sehingga dikhawatirkan kalau pernikahan itu ditangguhkan akan menjerumuskannya pada zina.
2. Sunnah (thatawwu') menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan sudah mampu secara fisik, psikis, dan material, namun masih bisa menahan diri dari perbuatan zina.
3. Makruh (tidak dianjurkan) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami, namun belum mampu secara fisik, psikis, atau material. Karenanya, harus dicari jalan keluar untuk menghindarkan diri dari zina, misalnya dengan shaum dan lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya.
4. Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kemashlahatan (kebaikan). Maupun menikah dengan tujuan menyakiti pasangannya.
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub).
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti para pelajar, mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi pelajar yang masih sekolah, bergantung pada orang tua dan belum mempunyai penghasilan sendiri, mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjauan fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, pada saat nikah, maupun sesudah nikah,
Kedua, kesiapan materi atau harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok atau primer bagi istri yang berupa sandang, pangan, dan papan. Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shanâani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jimaâ. Ini menunjukkan keharusan kesiapan fisik sebelum menikah.
Faktor Penyebab
Ada dua faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu faktor pribadi dan faktor keluarga.
Faktor pribadi
Dalam sebuah dialog antar remaja psikolog yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun radio swasta di Jakarta beberapa waktu lalu, seorang remaja laki-laki usia 19 tahun bercerita kepada penyiarnya : "Saya terpaksa menikah karena terlanjur melakukan hubungan intim hingga pacar saya hamil." Lalu, "Apa yang terjadi setelah menikah?" tanya sang penyiar tadi. "Dunia berubah 180 derajat. Dari bangun sembarangan harus berangkat pagi untuk bekerja. Belum lagi, siang malam anak saya menangis, hingga kami tidak bisa tidur barang sekejap pun."
Dari dialog tersebut, kita dapat mengetahui bahwa salah satu penyebabnya dari faktor pribadi adalah karena seks bebas yang mengakibatkan hamil duluar nikah. Sehingga akhirnya mereka melakukan pernikahan dini untuk menutupi dosa tersebut. Adapun penyebab dari faktor pribadi yang lain yaitu, karena pada remaja pernikahan dini dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari dosa, yaitu seks bebas. Mereka menganggap, dengan menikah dini, mereka akan terhindar dari yang namanya seks bebas.
Faktor keluarga
Kian maraknya seks bebas di kalangan remaja dan dewasa muda, maupun meningkatnya angka aborsi setidaknya menjadi indikator tingkat pergaulan bebas sudah berada pada tahap mengkhawatirkan dan harus segera dipikirkan solusinya.
Salah satu jalan, walaupun bukan yang mutlak adalah menikahkan pasangan remaja di usia dini. Artinya, bagi mereka yang telah mantap dengan pasangannya, dianjurkan untuk segera meresmikannya dalam sebuah ikatan pernikahan. Sekalipun keduanya masih menempuh pendidikan atau di bawah usia ideal. Hal ini untuk menghindari dampak buruk dari keintiman hubungan lawan jenis. Begitu kata orang tua.
Ada juga penyebabnya karena terpaksa. Hal itu terjadi pada orang tua yang masih belum paham pentingnya pendidikan. Para orang tua memaksa anak mereka untuk segera menikah. Hal itu biasanya terjadi setelah remaja lulus SMP atau bahkan belum. Mereka menganggap, pendidikan tinggi itu tidak penting. Bagi mereka, lulus SD saja sudah cukup.
Dampak Pernikahan Dini
Tanpa kita sadari ada banyak dampak dari pernikahan dini. Ada yang berdampak bagi kesehatan, adapula yang berdampak bagi psikis dan kehidupan keluarga remaja.
Kanker leher rahim
Perempuan yang menikah dibawah umur 20 th beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.
Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kankes. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.
Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal serta perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.
Neoritis deperesi
Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
"Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.
Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena "kecelakaan", kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.
Konflik yang berujung perceraian
Sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan usia dini sering berbuntut perceraian. Mampukah remaja itu bertahan?
Ada apa dengan cinta? Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini atau menikah dalam usia muda, memiliki dua dampak cukup berat. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 - 30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil.
Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh di bilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 - 24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya.
Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk belajar tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, dan pisah rumah.
Macam-macam Perspektif Pernikahan Dini
1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi
Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.
Di sekitar kita ada banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan di sini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang. Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2002). Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.
Bagaimana dengan hasil penelitian bahwa angka perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.
Dari kacamata psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, tapi ia adalah motivator untuk melejitkan potensi diri dalam segala aspek positif.
2. Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama
Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw. bersabda,
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai baah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual) (HR. Imam yang lima).
Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencapai aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia lima belas tahun.
Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Mas'ud ra. selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih single, dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang shalihah.
Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman, sebenarnya, kita tak perlu risih dengan yang urusan yang begitu krusial dalam sebuah rumah tangga ini.
Pernikahan Dini pada Kalangan Remaja
Pernikahan dini pada kalangan remaja, akhir-akhir ini terjadi. Hal itu disebabkan oleh berbagai alasan. Realita yang sering kita temui, penyebab pernikahan dini adalah karena kecelakaan. Hal itu karena sang lelaki merasa bertanggung jawab terhadap pacarnya yang hamil du luar nikah.
Tetapi itu semua malah akan berakibat buruk pada kehidupan keluarga mereka. Mereka yang masih sama-sama remaja dan menginginkan kebebasan, akan bisa berdampak konflik dalam rumah tangga. Selain itu, emosi mereka juga masih labil. Mereka masih sama-sama mempunyai emosi yang labil sehingga jika terjadi konflik, akan sulit didamaikan karena mereka sama-sama tidak mau mengalah dengan pendapat masing-masing.
Pernikahan dini tidak selalu buruk. Apabila masing-masing individu menkah karena saling mencintai dan bukan terpaksa, tentu saja pernikahan tersebut akan berjalan normal dan baik-baik saja. Mereka akan saling menjga hubungan dalam keharmonisan keluarga mereka. .
Nikah sambil sekolah atau kerja sambil sekolah kan tidak buruk? Di sinilah orang tua harus mengajarkan anak supaya bisa mandiri di usia baligh. Jangan hanya terus sekolah tanpa kemandirian. Jadinya sahwat udah ke mana, kemandirian belum ada.
Islam telah menetapkan hukum-hukum preventif agar para pemuda dan pemudi terhindar dari rangsangan dan godaan untuk berbuat maksiat. Cara tersebut yaitu menikah. Walaupun harus melakukan pernikahan dini. Hal itu bila tiadak dianggap beban, tentu saja tidak akan sulit bila dijalani.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ada berbagai penyebab pernikahan dini. Contohnya adalah karena hamil di luar nikah (kecelakaan), ingin menghindari dosa (seks bebas), dan ada juga karena paksaan orang tua. Pernikahan dini diperbolehkan dalam agama. Hal itu karena apabila si remaja tidak bisa menahan nafsu, jadi lebih baik dia menikah.
Ada berbagai dampak yang disebabkan oleh pernikahan dini, yaitu kanker leher rahim, neoritis depresi, dan konflik yang berujung pisah rumah bahkan perceraian. Kanker leher rahim yang menyerang remaja putri setelah pernikahan dini karena pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang.
Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan merupakan pertemuan dua pribadi berbeda. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernikahan usia remaja.. Hal tersebut memacu terjadinya konflik yang bisa berakibat pisah rumah, atau bahkan perceraian. Itu semua karena emosi remaja masih labil. Terkadang masalah-maalah rumah tangga juga bisa menyebabkan neoritis depresi. Si remaja bingung memikirkan tentang kehidupan keluarga. Ia tidak bisa membagi waktu antara sekolah dan keluarga, sehingga menjadi depresi berat.
Saran
Apabila tidak bisa menahan nafsu, dan khawatir melakukan seks bebas, maka ia diperbolehkan menikah walaupun itu pernikahan dini.
Pernikahan dini bisa menyebabkan kanker leher rahim. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.
Sebelum melakukan pernikahan dini, hendaknya kita memikirkan apa resiko yang akan terjadi. Dan juga melakukan persiapan yang akan dibutuhkan dalam pernikahan tersebut.
Apabila ada masalah dalam keluarga pernikahan dini, hendaknya diselesaikan baik-baik atau minta tolong dan saran pada orang yang lebih tahu dan berpengalaman.
DAFTAR RUJUKAN
Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono.1983. Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja?. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.
Muhammad Fauzil Adhim2002. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: PT Lingkar Pena.
Abdurrahman Al Maliki. 1963. As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla. Bogor: Cahaya.
An Nabhani. 1990. An Nizham Al Ijtimaâi fi Al Islam. Yogyakarta: Gunung Mulya.
Abdul Shaheed. 2007. Tinjauan Fiqih Pernikahan Dini. Yogyakarta: Gaul Islami.
Nugroho Kampono. 2007. Pernikahan Dini tingkatkan Resiko Kanker Servic. Semarang: Kelud Raya.
1 Dian Luthfiyati adalah mahasisiwi jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Islam Negeri Malang.